BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah lingkungan adalah berbicara tentang kelangsungan hidup (manusia dan
alam). Melestarikan lingkungan sama maknanya dengan menjamin kelangsungan hidup
manusia dan segala yang ada di alam dan sekitarnya. Sebaliknya, merusak lingkungan
hidup, apapun bentuknyamerupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup alam
dan segala isinya, tidak terkecuali manusia.
Secara
eksplisit, Al-Qur’an menyatakan bahwa segala jenis kerusakan yang terjadi di
permukaan bumi ini merupakan akibat dari ulah tangan yang dilakukan oleh
manusia dalam berinteraksi terhadap lingkungan hidupnya, “Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum
[30]: 41). Ayat ini, sejatinya menjadi bahan introspeksi manusia sebagai
makhluk yang diberikan oleh Allah mandat mengelola lingkungan bagaimana tata
kelola lingkungan hidup yang seharusnya dilakukan agar tidak terjadi kerusakan
alam semesta ini.
Di dalam
ajaran Islam, manusia
sebagai khilafah
yang telah dipilih oleh Allah di muka bumi ini (khalifatullah
filardh). Sebagai wakil Allah, manusia wajib untuk bisa merepresentasikan
dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Salah satu sifat Allah tentang alam
adalah sebagai pemelihara atau penjaga alam (rabbul’alamin). Jadi
sebagai wakil (khalifah) Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan
bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi
bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia sekaligus menjaga
keberlanjutan kehidupannya.Manusia baik secara individu maupun kelompok tidak
mempunyai hak mutlak untuk menguasai sumber daya alam. Hak penguasaannya tetap
ada pada Tuhan Pencipta. Manusia wajib menjaga kepercayaan atau amanah yang
telah diberikan oleh Allah tersebut.
Dalam konteks ini maka perumusan fikih lingkungan
hidup menjadi penting dalam rangka memberikan pencerahan dan paradigma baru
bahwa fikih tidak hanya berpusat pada masalah-masalah ibadah dan ritual saja,
tetapi bahasan fikih sebenarnya juga meliputi tata aturan yang sesuai dengan
prinsip-prinsip agama terhadap berbagai realita sosial kehidupan yang tengah
berkembang.[1]
Dalam makalah ini penulis bermaksud mengkaji mengenai
lingkungan hidup dalam perspektif fiqih dan urgensi dari fiqih lingkungan itu
sendiri serta prilaku yang mesti dilakukan dan dihindari menurut konsep fiqih
demi terciptanya pemanfaatan dan kelestarian lingkungan sesuai dengan ajaran
agama Islam.
A.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian fiqh al-bi’ah?
2.
Apa urgensi dari fiqih al-bi’ah itu?
3.
Bagaimana pelestarian lingkungan dalam perspektif fiqh al-bi’ah?
B.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas
maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui makna fiqh al-bi’ah
2.
Mengetahui urgensi dari fiqh al-bi’ah
3.
Mengetahui upaya pelestarian lingkungan dalam perspektif fiqh al-bi’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fiqh al-Bi’ah
Fiqh al-Bi’ah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata (kalimat
majemuk; mudhaf dan mudhaf ilaih), yaitu kata fiqh dan al-bi`ah. Secara
bahasa “fiqh” berasal dari katafaqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti
al-‘ilmu bis-syai`i (pengetahuan terhadap sesuatu), al-fahmu (pemahaman) Sedangkan secara istilah, fiqh
adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat
praktis yang diambil daridalil-dalil tafshili (terperinci). Adapun kata “al-bi`ah”
dapat diartikan dengan lingkungan hidup, yaitu: Kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.[2]
Dari sini, dapat kita berikan pengertian bahwa fiqh al-Bi’ah atau fiqih lingkungan
adalah seperangkat aturan
tentang perilaku ekologis manusia yang ditetapkan oleh ulama yang berkompeten berdasarkan
dalil yang terperinci untuk tujuan mencapai kemaslahatan kehidupan yang
bernuansa ekologis.
Dari
definisi fikih lingkungan tersebut, ada empat hal yang perlu dijabarkan:
1.
Seperangkat aturan perilaku yang bermakna bahwa
aturan-aturan yang dirumuskan mengatur hubungan prilaku manusia dalam
interaksinya dengan alam. Rumusan aturan perilaku tersebut akan diwadahi dengan
hukum-hukum fikih dalam lima wadah: al-wujub, an-nadb, alibahah, al-karahah,
dan al-hurmah. Dengan demikian,seperangkat interaksi tersebut mengacu pada status hukum perbuatan mukallaf dalam interaksinya dengan
lingkungan hidup.
Kategori-kategori aturan tersebut memiliki kekuatan spiritual bahkan kekuatan eksekusi formal manakala
aturan fikih tersebut dapat
disumbangkan kedalam proses pengembangan dan pembinaan hukum positif/hukum nasional tentang lingkungan hidup.
2.
Maksud dari kalimat “yang ditetapkan oleh ulama yang
berkompeten” adalah bahwa, perumusan fikih lingkungan harus dilakukan oleh
ulama yang mengerti tentang lingkungan hidup dan menguasai sumber-sumber
normatif (al-Qur’an, al-hadis, dan ijtihad-ijtihad ulama) tentang aturan fikih lingkungan.
Dengan demikian, mujtahid
lingkungan mesti memiliki
pengetahuan ideal normatif dan pengetahuan tentang fakta-fakta empirik lingkungan hidup. Oleh karena itu, perumusan fikih lingkungan mesti melibatkan
pengetahuan tentang ekologi.
3.
Yang dimaksud dengan “berdasarkan dalil yang terperinci” adalah bahwa penetapan hukum fikih
lingkungan harus mengacu
kepada dalil. Dalil, dalam hal ini, tidak hanya dipahami secara tekstual dalam arti nass yang
sarih, tetapi mencakup dalil
yang diekstrak atau digeneralisir dari maksud syariat.
4.
Maksud dari kalimat “untuk tujuan mencapai kemaslahatan kahidupan yang bernuansa ekologis” adalah sesuatu yang ingin dituju oleh fikih lingkungan, yaitu
kehidupan semua makhluk
Tuhan. Hal ini menggambarkan aksiologi fikih lingkungan yang akan mengatur agar semua sepesies
makhluk Tuhan dapat
hidup dalam space alam yang wajar sehingga akan memberikan daya dukung optimum bagi kehidupan bersama yang berprikemakhlukan, rahmatan li al-‘alamin.[3]
B.
Urgensi
Fiqh Al-Bi’ah
Al-Qur’an telah memberikan informasi spiritual kepada manusia untuk
bersikap ramah terhadap bumi, sebab bumi adalah tempat kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lainnya (QS. Al-Rahman: 10). Informasi tersebut
memberikan sinyal bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan bumi dan
lingkungan agar tidak menjadi rusak, tercemar bahkan menjadi punah, karena hal
itu adalah amanah Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Dengan kata lain,
Islam telah memberikan sebuah sistem atau tatanan kehidupan yang demokratis
dalam segala hal, termasuk demokratis terhadap bumi (alam). Karenanya, untuk
menghambat percepatan krisis lingkungan, upaya pengembangan fikih lingkungan
harus terus dilakukan.
Sebagai
disiplin ilmu yang mengatur hubungan manusia terhadap Tuhannya, hubungan
manusia terhadap dirinya sendiri, hubungan manusia terhadap sesama manusia,
hubungan manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, maka perumusan fikih lingkungan hidup menjadi penting dalam
rangka memberikan pencerahan dan paradigma baru untuk
melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religiyang
sesuai dengan hukum-hukum syara’. Perumuskan dan pengembangan sebuah fiqh
lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi suatu pilihan urgen di tengah krisis-krisis
ekologis oleh keserakahan manusia dan kecerobohan penggunaan teknologi.[4]
Dalam rangka menyusun fiqh lingkungan ini
(fiqh al-bi’ah), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan[5]:
1.
Rekonstruksi makna khalifah.
Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa menjadi
khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan
darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh
keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini
secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah/2:
30). Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia tetapi tidak
diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap
alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan
akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS. al-A’raf/7: 56).
wur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4 ¨bÎ) |MuH÷qu «!$# Ò=Ìs% ÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima)
dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik”.
2.
Ekologi sebagai doktrin ajaran.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf
Qardhawi dalam Ri’ayah al-Bi’ah fiy Syari’ah al-Islam, bahwa memelihara
lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid
al-syari’ah). Karena memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid
al-syari’ah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa
bihi fawuha wajibun (Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu
itu hukumnya wajib).
3.
Tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli
lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di
tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang
sangat fundamental dalam kesempurnaan iman seseorang sesuai sabda Nabi SAW bahwa
kebersihan adalah bagian dari iman.
4.
Perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-bi’ah).
Merusak lingkungan sama halnya dengan
ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah (QS. Shad/38: 27).
$tBur $uZø)n=yz uä!$yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur $yJåks]÷t/ WxÏÜ»t/ 4 y7Ï9ºs `sß tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. 4 ×@÷uqsù tûïÏ%©#Ïj9 (#rãxÿx. z`ÏB Í$¨Z9$# ÇËÐÈ
Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa
memahami alam secara sia-sia merupakan pandangan orang-orang kafir. Apalagi, ia
sampai melakukan perusakan terhadap alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan
kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap
seluruh nikmat yang diberikanNya kepada manusia, termasuk adanya alam semesta
ini (QS. Ibrahim/14: 7).
øÎ)ur c©r's? öNä3/u ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyÎV{ ( ûÈõs9ur ÷Länöxÿ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓÏt±s9 ÇÐÈ
Dan (ingatlah juga),
tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
C.
Pelestarian
Lingkungan Hidup dalam Perspektif Fiqh Al-Bi’ah
Pemahaman
masalah lingkungan hidup (fiqh al-Bi'ah) dan penanganannya (penyelamatan dan
pelestariannya) perlu diletakkan di atas suatu pondasi moral untuk mendukung
segala upaya yang sudah dilakukan dan dibina selama ini yang ternyata belum mampu
mengatasi kerusakan lingkungan hidup yang sudah ada dan masih terus
berlangsung. Fiqh lingkungan hidup berupaya menyadarkan manusia supaya
menginsafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung
jawabnya dan merupakan amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi
alam yang dikaruniakan Sang pencipta yang Maha pengasih dan penyayang sebagai
hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi ini.
1.
Penguatan
Nilai Intelektual dan Spiritual
Keberhasilan
suatu proyek konservasi/pelestarian lingkungan, sangat ditentukan oleh dimensi
intelektual dan spiritual. Dua aspek ini yang menggerakkan tindakan-tindakan
seorang manusia dan menentukan kualitas serta motivasi kesadarannya. Menguatnya
kesadaran intelektual dan spiritual terhadap konservasi lingkungan dan
pemecahan-pemecahannya akan menentukan masa depan lingkungan hidup manusia.
Ajaran-ajaran
kearifan lingkungan yang dapat memperkuat aspek intelektual dan spiritual
diantaranya dalam konsep tauhid, khalifatullah fil-ardh, syukr, akhirat, ihsan,
amanat dan rahmatan lil ‘alamin. Tauhid adalah matrik atau acuan
seluruh tindakan manusia terhadapp Tuhan dan alam, karena itu memancarkan aspek
khalifatullah fil ardh yang secara bertanggung jawab mengelola dan
memanffaatkan sumber daya alam secara baik dan seimbang. Pengelolaan ini
dilakukan sebagai rasa syukr atas Sang Pencipta dan bentuk belas kasih
atau rahmatan lil ‘alamin kepada alam lingkungan. Operasi dan implementasi
tauhid, syukr, khalifatullah, dan sikap belas kasih adalah
manifestasi dari amanat dan sikap ihsan. Dengan deikian amal-amal
mereka pada akhirnya akan dimintakan pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Yusuf
Qardhawi menguraikan konsep ihsan sebagai pilar konservasi lingkungan
yang didefinisikan ke dalam dua pengertian: (1) melindungi dan menjaga dengan
sempurna; (2) ihsan berarti memperhatikan, menyayangi, merawat serta
menghormati. Qardhawi tidak menjelaskan secara tegas bagaimana konsep ihsan beroperasi.[6]
2.
Konsep
Maslahah dan Maqasid al-Syari’ah
Konsep fiqh lingkungan yang dirumuskan oleh para intelektual muslim
mencerminkan dinamika fiqh terkait dengan adanya perubahan konteks dan situasi. Ada dua rumusan metode
yang digunakan untuk membangun fiqh lingkungan, yakni mashlahah dan maqasid
asy-syari’ah. Konsep mashlahah berkaitan sangat erat dengan maqasid
asy-syariah, karena dalam pengertian sederhana, mashlahah merupakan sarana
untuk merawat maqasid asy-syariah. Contoh konkrit dari mashlahah
ini adalah pemeliharaan atau perlindungan total terhadap lima kebutuhan primer
(ushul al-khamsah), (1) perlindungan terhadap agama (hifzh al-din),
(2) perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), (3) perlindungan akal (hifzh
al-'aql), (4) perlindungan keturunan (hifzh al-nasl), dan (5)
perlindungan harta benda (hifzh al-mal). Kelima hal tersebut merupakan
tujuan syari’ah (maqasid asy-syariah) yang harus dirawat.[7]
Dalam
bukunya yang berjudul Ri’ayatul Bi’ah fi Syari’atil Islam, Dr. Yusuf
Al-Qardhawi juga menjelaskan bahwa pemeliharaan lingkungan merupakan upaya
untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudharatan. Hal ini sejalan
dengan maqāsid al-syarī’ah (tujuan syariat agama) yang terumuskan
dalam kulliyāt al-khams, yaitu: hifzu al-nafs (melindungi
jiwa), hifzual-aql (melindungi akal), hifzu al-māl (melindungi
kekayaan/property), hifzu al-nasb (melindungi keturunan), hifzu
al-dīn (melindungi agama). Menjaga kelestarian lingkungan hidup menurut
beliau, merupakan tuntutan untuk melindungi kelima tujuan syari’at tersebut.
Dengan demikian, segala prilaku yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan
hidup semakna dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, nasab, dan agama.[8]
Dalam
konteks pelestarian lingkungan ini, Yusuf Qardhawi bahkan menegaskan penerapan
hukuman sanksi berupa kurungan (At-Ta’zir) bagi pelaku pengrusakan
lingkungan hidup yang ditentukan oleh pemerintah (Waliyyul amr), seiring
dengan hukum yang terkandung dalam hadis Rasulullah saw:
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللهِ
وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ
بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي
أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ
فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ
فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ
أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum Allah dan
orang yang melakukan pelanggaran, adalah laksana suatu kaum yang sedang
menumpang sebuah kapal. Sebagian dari mereka menempati tempat yang di
atas dan sebagian yang lain berada di bawah. Maka orang-orang yang bertempat di
bawah, jika hendak mengambil air mereka harus melewati orang yang ada di atas
mereka. Maka berinisiatif untuk membuat lobang pada bagian mereka, agar tidak
akan mengganggu orang yang ada di atas. Jika kehendak mereka itu dibiarkan
saja, pastilah akan binasa seluruh penumpang kapal, dan jika mereka dicegah
maka merekapun selamat dan selamatlah pula orang-orang lain seluruhnya”.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari paparan
di atas, dapat penulis simpulkan beberapa hal:
1. Konsep Fikih lingkungan pada hakikatnya adalah konsep aturan-aturan yang
dirumuskan oleh Islam dalam rangka mengatur pemanfaatan yang berorientasi pada
kelestarian lingkungan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis.
2. Hubungan manusia sebagai khalifah di muka bumi terhadap lingkungan hidupnya
harus berdasarkan atas asas pemanfaatan yang benar dan menghindarkan kerusakan.
3.
Kesadaran akan pelestarian
lingkungan hidup sebagaimana yang sudah digariskan oleh fikih Islam perlu
ditanamkan kepada setiap pribadi muslim, dan menjadi tanggung jawab bersama,
lebih-lebih pemerintah sebagai pemegang regulasi dalam rangka menjaga dan
melestarikan lingkungan hidup dan mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan.
4.
Pemeliharaan lingkungan merupakan upaya untuk menciptakan
kemaslahatan dan mencegah kemudharatan yang sejalan dengan maqāsid
al-syarī’ah (tujuan syariat agama) yang terumuskan dalam kulliyāt
al-khams, yaitu hifzh
al-din, hifzh al-nafs, hifzh al-'aql, hifzh al-nasl,
dan hifzh al-mal. Dan segala prilaku yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan hidup semakna
dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, nasab, dan agama
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Mujiono. 2005. Fikih
Lingkunga. Yogyakarta: Unit Penerbitan dan Percetakan YKPN.
Abdullah,
Mudhofir. 2011.Masail Al-Fiqhiyyah Isu-IsuFikih Kontemporer. Yogyakarta:
Teras.
Sukarni. 2011. Fikih
Lingkungan Hidup. Banjarmasin: Antasari Press.
[3]Mujiono Abdillah, Fikih Lingkungan (Yogyakarta:
Unit Penerbitan dan Percetakan YKPN, 2005), hlm.55-57.
[4]Mudhofir Abdullah, Masail Al-Fiqhiyyah Isu-IsuFikih
Kontemporer, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 37
[6]Mudhofir Abdullah, Op.cit. hlm. 65-69
[8]Yusuf Al-Qardhawi, Ri’ayatu Al-Bi`ah fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, (Kairo:
Dar Al-Syuruq, 2001) hlm. 44