Pertumbuhan dan Perkembangan Agama pada anak

BAB 1
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat fitrah. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini, karena pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kecilnya.
Zakiah (1970: 58) mengemukakan bahwa masa pertumbuhan pertama terjadi pada usia 0 – 12 tahun, seyogianya sejak masa kandungan pun orang tua harus memasukkan nilai keagamaan pada diri anak bersamaan dengan pertumbuhan pribadinya. Sebab, melalui orang tua dan lingkungan keluarganya, anak mulai mengenal Tuhannya.Kata-kata, sikap, tindakan dan perbuatan orang tua sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan keagamaan pada anak[1].
Dalam hal ini, kami akan membahas bagaimana timbulnya kepercayaan agama pada anak-anak, faktor-faktor yang mempengaruhinya dan perkembangannya serta sifat-sifat agama pada anak.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.         Bagaimana timbulnya jiwa keagamaan pada anak ?
2.         Bagaimana perkembangan agama pada anak ?
3.         Apa saja faktor-faktor pembentuk jiwa keagamaan pada anak?
4.         Apa saja sifat-sifat agama pada anak ?


C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.         Untuk mengetahui timbulnya jiwa keagamaan pada anak
2.         Untuk mengetahui perkembangan agama pada anak
3.         Untuk mengetahui faktor-faktor pembentuk jiwa keagamaan pada anak
4.         Untuk mengetahui sifat-sifat agama pada anak



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak yang tumbuh dewasa menurut Jalaluddin (2004: 64), memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu sebagai berikut[2]:
1.         Prinsip Biologis
Secara fisik, anak yang baru dilahirkan berada dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak-tanduknya ia selalu memerlukan bantuan dari orang dewasa sekelilingnya karena keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna dan difungsikan secara maksimal.
2.         Prinsip Tanpa Daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
3.         Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawa sejak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih.Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan pada pengeksplorasian perkembangannya.
Jalaluddin (2004: 65-66) mengemukakan beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak[3], yaitu antara lain:


1.         Rasa Ketergantungan (sense of dependent)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes-nya. Menurut Thomas, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan, yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal (recognition).  Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, sejak dilahirkan bayi hidup dalam ketergantungan, kemudian dia melampaui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan dan akhirnya terbentuklah rasa keagamaan pada dirinya.
2.         Instink keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink, diantaranya instink keagamaan. Belum tampaknya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan belum berfungsi sempurna.
3.         Fitah keagamaan
Pendapat ini berdasarkan konsep Islam yang didasarkan pada hadist Nabi yang berbunyi:
كُلُّمَوْلُودٍيُولَدُعَلَىالْفِطْرَةِ،فَأَبَوَاهُيُهَوِّدَانِهِوَيُنَصِّرَانِهِأَوْيُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dialhirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani aau Majusi”.
Fitrah dalam hadist ini diartikan sebagai “potensi”. Fitrah ini baru berfungsi dikmudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap berikutnya. (Jalaluddin 2002:65, Sururin, 2004:48)[4].

B.       Perkembangan Agama pada Anak-Anak
Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa-masa pertumbuhan yang pertama dari umur 0 – 12 tahun. Seorang anak yang pada masa itu tidak mendapat didikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, nantinya setelah dewasa akan cenderung kepada sikap negatif terhadap agama[5].
Ramayulius (2004: 51-52) dalam bukunya The Development of Religius on Children mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan[6], antara lain:
1.         The Fairy Tale Stage (Tingkatan Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak usia 3 – 6 tahun, konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini, anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.
2.         The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)
Tingkatan ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga ke usia adolesense. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas).
3.         The Individual Stage (Tingkatan Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usianya. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
a.       Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
b.      Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perseorangan).
c.       Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Agama lebih menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama.

Pemikir Islam Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian[7], yaitu :
1.         Description: L:\ayni\7_172.pngFase dalam kandungan, perlu dicatat bahwa pada fase ini seorang bayi yang berada dalam kadungan sudah berjanji pada Rabbnya, sebagaimana yang telah tertulis dalam Firman Allah:





Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. Al A’raf: 172)
2.         Fase Bayi, isyarat pengenalan keagamaan tercermin pada memperdengarkan suara adzan pada telinga bayi.
3.         Fase Kanak-kanak, pada masa ini anak mengenal Tuhan melalui ucapan-ucapan orang-orang disekelilingnya. Anak pada usia ini tidak memahami dalam melaksanakan ajaran agama Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua sangat penting untuk membimbing dan mengenalkan serta mengarahkan mengenai tindakan-tindakan keagamaan pada anak untuk perkembangan agama anak pada masa selanjutnya. 
4.         Fase Masa anak Sekolah, di masa ini dalam jiwa anak telah membawa bekal rasa agama yang terdapat dalam kepribadiannya dari orang tua.

C.      Faktor Pembentuk Jiwa Keagamaan pada Anak
Adapun faktor yang membentuk anak mulai mengenal dan mendalami agama yaitu:
1.      Faktor intern (bawaan)
Perbedaan hakiki antara manusia dan hewan adalah bahwa manusia memiliki fitrah (potensi ) beragama. Setiapa manusia yang lahir ke dunia ini, baik yang masih primitif (bersahaja) maupun yang modern; baik yang lahir di negara komunis maupun beragama; baik yang lahir dari orang tua yang shalih maupun yang jahat, sejak Nabi Adam sampai akhir zaman, menurut fitrahnya mempunyai potensi beragana, keimanan kepada Tuhan, atau percaya terhadap suatu dzat yang mempunyai kekuatan yang menguasai dirinya atau alam dimana dia hidup.
Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari agama, sehingga fitrahnya itu berkembang secara benar sesuai dengan kehendak Allah Swt.
2.      Faktor lingkungan (external)
a.       Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan.Menurut Hurlock (1959 :434) keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai.Pengembangan fitrah atau jiwa beragama anak, seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadianya, yaitu sejak lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan.Pandangan ini di dasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa, ternyata mereka itu di pengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka dalam kandungan.
b.      Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga formal yang mempunyai progam yang sitematik yang melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan yang di harapkan.Dalam kaitannya dengan proses pengambanagan keagamaanpara siswa, maka sekolah berperan penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak melalui pelajaran agama. 
c.       Lingkungan masyarakat
Yang di maksud lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran beragama individu.Di dalam masyarakat, individu akan melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainya. Oleh karena itu di sini dapat di kemukakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi anak sangat bergantung pada kulaitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau warga masyarakat[8].

D.      Sifat-Sifat Agama pada Anak
Dalam kaitannya dengan perkembangan agama, muncul sifat-sifat agama yang dimiliki oleh anak antara lain:
1.      Unreflective (tidak mendalam), yaitu kebenaran agama yang diterima anak tidak begitu dalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.
2.      Egosentris, yaitu dalam masalah keagamaan anak lebih menonjolkan kepentingan dirinya dan lebih menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan dirinya.
3.      Anthromorphis, yaitu konsep mengenai tuhan berasal dari hasil pengalaman di kala ia berhubungan dengan orang lain. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka, anak mengaggap bahwa keadaan tuhan itu sama dengan manusia.
4.      Verbalis dan Ritualis, yaitu dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagaimana tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan-ucapan). Latihan-latihan bersifat verbal dan upacara keagamaan yang bersifat ritual (praktek) merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu ciri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak.
5.      Imitatif, yaitu Keagamaan pada anak-anak bersifat meniru seperti gerakan sholat, berdo’a dan lain-lain.
6.      Rasa heran, yaitu sifat ini merupakan tanda sifat keagamaan yang terakhir pada anak, rasa kagum pada anak-anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap lahiriyah saja. Perasaan kagum ini dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub[9].



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari kajian yang telah dipaparkan dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan rasa agama pada anak telah mulai sejak si anak lahir dan bekal itulah yang dibawanya ketika waktu sekolah untuk pertama kali dan pengembangannya ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan.
Seorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan didikan agama, pada masa dewasanya seorang anak tidak akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Lain halnya dengan orang yang diwaktu kecilnya mempunyai pengalaman agama, maka orang-orang itu akan dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, takut menjalankan larangan-larangan agama dan dapat merasakan betapa nikmat hidup beragama.
Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari orang tua, guru dan lingkungan mereka.

B.       Saran
Dari kesimpulan tersebut, kami menyarankan bahwa sebagai orang tua harus dapat menanamkan jiwa keagamaan kepada anak-anak dimulai sejak dalam kandungan.Kata-kata, sikap, tindakan dan perbuatan orang tua harus menjadi contoh yang baik karena sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan pada anak.
Seorang guru agama hendaknya mendekatkan ajaran agama ke dalam kehidupan anak sehari-hari dengan menonjolkan sifat Pengasih dan Penyayang-Nya.


DAFTAR PUSTAKA


Bambang Syamsul Arifin, Drs., Psikologi Agama, Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2008
H. M. Hafi Anshari, Drs., Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama. Penerbit Usana Offset Printing, Surabaya, 1991
WE Maramis, Ilmu Kedoteran Jiwa, Penerbit Airlangga University Press, 1980
Zakiah Daradjat, Dr., Ilmu Jiwa Agama. Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1996
http://www.majalah pendidikan.com/perkembangan pendidikan anak.









[1]Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 47
[2]Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 48
[3]Ibid, hlm. 49
[4]http://jalius12.wordpress.com diunduh tgl 8 April 2014 pk. 12.15 PM
[5]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hlm. 58
[6]Bambang Syamsul Arifin, Op.cit, hlm. 50
[7]WE Maramis, Ilmu Kedoteran Jiwa, Airlangga University Press, 1980. Hal 22-23
[8]http://greenzonekampus.blogspot.com diunduh tgl 4 April 2014 pukul 11.00
[9]http://www.majalah pendidikan.com/perkembangan pendidikan anak, 6 April 2014 pukul 21.30
Previous
Next Post »
Posting Komentar
Thanks for your comment